Joni Si Supir Angkot
Apakah Anda memiliki karakter hidup seperti Joni Si Supir Angkot? Bukan cerita ugal-ugalan ataupun tidak taat peraturan, tapi sebuah inkonsistensi egoistik antara lidah judgemental dan realitas tingkah laku.
Anda kenal Joni?
Joni hidup sebagai seorang supir angkot di kota Bandung. Suatu sore dia terjebak dalam kemacetan yang terjadi di sebuah jalan tempat sasana budaya termegah di kota itu. Di sasana itu, sebuah pameran sedang diadakan dan didatangi oleh banyak orang, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa; ada yang sendirian, berpasangan, bahkan bergerombol hingga terlihat seperti proses transmigrasi bedol desa.
Setelah ditilik-tilik, kemacetan terjadi karena adanya seorang supir angkot yang trayeknya berbeda dengan Joni sedang berhenti di tengah jalan untuk menaikkan penumpang.
Joni dan belasan pengemudi lainnya tentunya kesal bahkan marah.
Joni: “Hoii!! Jangan berhenti di tengah jalan kauu! Kauu kira ini jalan punya ompung mu?” (sambil membunyikan klakson berkali-kali dengan hebohnya)
Suara klakson mobil Joni saling berinterferensi dengan suara klakson mobil lainnya sehingga menghasilkan sebuah harmonisasi suara yang amat memekakkan telinga. Bayangkan bila ada sekitar 8 mobil yang bersama-sama membunyikan klakson mereka dengan penuh emosi. Apa jadinya??
Setelah si supir angkot penyebab kemacetan itu selesai menaikkan penumpangnya, dia akhirnya kembali melaju dan anehnya, sambil berkata:
Supir Angkot: “Sabar kek!! Tak bisa sabaran dikit apa kalian?!”
Setelah supir angkot itu melaju, Joni bersama pengemudi lainnya bisa kembali melanjutkan perjalanan. Joni pun mulai melewati gerbang utama sasana yang amat ramai dengan calon penumpang tersebut.
Dan Anda tahu apa yang dia lakukan?
Dia berhenti untuk menaikkan penumpang.
Joni adalah salah satu contoh kecil dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dan secara filosofi dasar, karakter Joni bisa bermanifestasi menjadi berbagai bentuk yang berbeda-beda di kehidupan kita. Anda pernah mengantri tiket bioskop? Apakah Anda pernah berteriak penuh amarah karena tiba-tiba ada seseorang yang mendahului Anda tanpa mengantri dengan baik? Mungkin sebagian berkata ya dan sebagian lagi berkata tidak. Keduanya merupakan respon yang wajar. Tapi, pertanyaan yang lebih menarik ialah: apakah Anda pernah mendahului orang-orang yang sedang mengantri dan lalu pergi tanpa malu padahal sebelumnya Anda berkoar-koar penuh emosi apabila ada orang yang melakukan hal seperti itu kepada Anda?
Dan sayangnya, kedua-keduanya tetap berpusat pada EGO Anda.
Mengapa Anda berkoar penuh emosi saat seseorang mendahului Anda dalam antrian?
Karena orang tersebut merugikan Anda.
Mengapa Anda memilih mendahului antrian seenaknya dan tidak ikut mengantri dari belakang?
Karena itu menguntungkan Anda.
Mengapa Joni mengklakson penuh emosi saat dia harus menunggu dalam kemacetan?
Karena kemacetan merugikan Joni.
Mengapa Joni memutuskan untuk berhenti menaikkan penumpang bahkan di tengah kemacetan?
Karena itu menguntungkan Joni.
Mengapa Anda memilih untuk bertindak saat Anda melihat sebuah hal yang salah? Apakah karena hal yang salah itu kebetulan merugikan Anda? Apabila ternyata tidak, apakah Anda tetap bertindak? Apabila Anda berada dalam sebuah kesempatan yang membuat Anda ‘terpaksa’ melakukan suatu hal yang Anda tahu salah, apakah Anda tetap melakukannya dan menelan ludah Anda sendiri?
Anda pernah jadi Joni? Saya pernah. Terlepas apakah Anda pernah menjadi Joni atau tidak, saya hanya ingin mengajak Anda untuk mengurangi faktor “Joni” dalam diri kita. Sadari ego kita dan letakkan pada tempatnya karena bahwasanya dunia ini tidak hanya milik kita sendiri.
PS. Tidak semua supir angkot memiliki kelakuan seperti Joni. Say no to stereotyping. Hehe..
Pingback: Yusril & Syaiful Jamil…
Pingback: Yusril & Syaiful Jamil… « andika.putraditama