How do you react to change?

It’s a simple question. How do you react to change?

Bayangkanlah Anda berada dalam suatu keadaan dimana segala hal-hal di sekitar Anda mulai berubah dan mulai bermunculan berbagai ketidakpastian di sekitar Anda. Mungkin banyak contoh yang bisa Anda bayangkan; katakanlah hal-hal lumrah seperti pindah sekolah karena orang tua yang pindah tempat dinas atau mungkin perubahan rutinitas harian yang cukup fundamental karena berhentinya pembantu di rumah kita misalnya. Atau mungkin hal-hal berbau cinta seperti seseorang yang baru saja jadian dan mulai berpikir akan sekian banyak hal yang akan berubah dengan keberadaan orang baru tersebut; atau seseorang yang baru saja diputuskan pacar dan harus menghadapi dunia yang mega-besar ini dalam kesendirian. Hmm.. bagaimana dengan kasus di tempat kerja? Katakanlah pergantian kepengurusan, deployment, rekruitmen orang baru atau mungkin pemecatan. Atau untuk kasus yang lebih global dan menyangkut orang banyak katakanlah undang-undang atau peraturan baru, kabinet baru, atau mungkin presiden baru.

How do you react to those changes?

Kasus 1: Pindah sekolah karena orang tua pindah dinas

A: “Duh.. mamapapa kok pake pindah kerja segala sih.. Ntar kalo aku gak dapet temen gimana? Kalo gurunya galak gimana? Kalo ada penjahat gimana? (*yg trakhir ga jelas bgt. hehe..)
B: “Wah.. mamapapa pindah dinas lagi nih.. Yah.. liat ntar aja deh gimana-gimananya.. ya paling semuanya gitu-gitu aja sih..”
C: “Ooo.. mamapapa pindah lagi ya.. Yaudah.. gua yakin kok gua bisa adaptasi dengan baik.. teman baru, suasana baru, guru baru, semangat baru.. pacar baru! (*hahaha.. lagi-lagi yang terakhir gak jelas..”)

“Ah.. itu mah kasusnya terlalu sederhana, bel.. Dan terlalu anak kecil banget!”
Kasus yang sederhana? Memang, tapi sadarilah bahwa terkadang kasus-kasus yang sederhana itu relatif representatif lho.. Yaudah deh.. kita lihat aja kasus kedua..

Kasus 2: Di tempat kerja, rekruitmen orang baru yang kebetulan mukanya judes

A: “Anjing.. ada orang baru lagi! Pasti dia lulusan sekolah ternama.. Sombong bgt sih! Pasti orangnya freak.. Antisosial.. Dan punya kebiasaan aneh.. pengen gua tonjok tuh muka songongnya.. Bakal nyusahin aja ni orang kayanya..”
B: “Ooo.. ada orang baru.. Hmm… Whatever.. Like I care.. Gua banyak kerjaan.. Dan gua sudah cukup amat sibuk dengan kerjaan gua ini..”
C: “Wah ada orang baru nih.. kayanya orangnya ramah.. mukanya agak judes sih.. tapi biasanya yang kaya gitu tuh cuman bawaan doang.. kalo dah kenal pasti baik.. kayanya orangnya team-player juga.. asik nih ada reinforcement.. kerjaan jadi lebih mudah!”

“Hmm.. tapi itu mah ada efek emosi juga.. kan terkadang respon orang tuh bergantung dengan tingkat kesabaran dan stabilitas emosi dia juga..”
Bener juga.. tapi coba sadarilah dalam diri kita.. bahwa pada dasarnya kontrol emosi itu juga ada di tangan kita. Dan beberapa buku psikologi mengatakan bahwa pada dasarnya optimisme, cuek-isme, atau pesimisme merupakan karakter dasar manusia. Nah lho.. Hehehe..

Kasus 3: Presiden baru, kabinet baru.

A: “Gua gak yakin deh di orang bisa ngebawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Kayanya kurang sreg aja.. Kabinetnya juga kurang meyakinkan.. dan honestly, gua gak yakin deh Indonesia bisa berubah menjadi lebih baik ampe kapanpun! Dah terlalu susah!”
B: (dah lah pokonya si B ini tuh si tokoh cuek dan gak pedulian.. dikira-kira aja responnya begimane.. hahaha..)
C: “Wah.. ganti presiden baru nih.. Gua milih dia tuh.. soalnya gua percaya dia bisa memperbaiki Indonesia walaupun sedikit demi sedikit.. Di dunia ini kan gak ada yang instan.. Gua optimis banget ama tu presiden baru..”

Nah gimana tuh… kasus yang terakhir tuh udah emotion-free lho.. dan itu bukan kasus anak kecil juga.. hehe..

Coba kita lihat diri kita sendiri dan juga lihatlah beberapa sampel orang di sekitar kita. Bukan bermaksud untuk menggeneralisasi atau bertindak judgemental, tapi memang faktanya manusia cenderung untuk memilih sebuah peran yang sama saat menghadapi setiap perubahan; entahkah itu manusia si optimis yang terkadang diejek sebagi pemimpi, manusia cuek si tidak peduli, atau si manusia pesimis yang selalu berpikir negatif.

Saya pernah membaca sebuah buku yang memaparkan bagimana efek pikiran positif dalam diri manusia bisa menarik energi-energi positif di sekitar kita. Yah, memang buku itu menjelaskan hal tersebut dari segi aura-something-whatever tapi sang penulis buku itu memang ada benarnya juga. Poin pertama yang penting dari pikiran positif dan optimis ialah bahwa selain baik untuk kontrol emosi diri kita sendiri, berpikir positif memang cenderung membuat kita lebih terbuka terhadap ide-ide cemerlang dalam kehidupan. Dan poin kedua, pikiran positif memang membuat suasana di sekitar kita menjadi lebih bersemangat; mungkin contoh konkritnya ialah dalam suatu team yang sedang menjalankan project tertentu. Pikiran positif salah satu anggota tim akan meningkatkan semangat kerja anggota tim lainnya. It’s a fact.

Satu hal lagi yang patut dipertimbangkan dalam permasalahan ini ialah bahwa sebenarnya peran optimis, cuek, atau pesimis tidaklah sesederhana ini. Banyak faktor X-Y-Z yang berpengaruh terhadap keputusan manusia untuk memilih salah satu dari tiga peran di atas; katakanlah pengaruh emosi, latar belakang, track record, pengalaman, dan banyak faktor lainnya. Tapi sadarilah, ketiga peran itu merupakan pilihan dan itu 100% ada di tangan kita.

So, how do you react to change? Are you the optimist guy that has faith and always sees everything as opportunities and challenges? Or the whatever-guy that never care about anything that happens around him even the world is turning upside-down? Or the so-called ‘refuseniks’ that always refuses everything and do not even try to consider any idea that may come up.

Pick your side.